Lembaran kuno.

"Rumah mu seperti toko buku kuno ya. Seperti wangi kertas yang menguning dimakan waktu."

"Wangi?" Katamu, heran. "Bukannya terlalu bagus jika dikatakan wangi? Justru ini bau."

"Bau itu jika sudah menjadi bangkai, bau yang menyengat Pra."

"Ahh, tapi semua buku ini juga termasuk bangkai."

"Iyakah? Jika benar bangkai... Kenapa kamu masih menyimpan semua buku kuno itu? Apa lebih baik jika dibuang saja?"

Pra menghela nafas, kawan nya ini baru pertama kali betamu namun sudah banyak mau tahu.

"Karena aku sayang mereka, buku-buku kuno ini." Jawab Pra akhirnya.

"Kalau sayang aku?"

"Ya! Yang benar saja. Aku tidak suka sesama jenis tau."

"Astaga Pra, aku bercanda." Sahutnya dengan sedikit gelak tawa.

Pra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menelusuri lebih dalam tempat tinggalnya itu, Jade tampak sangat banyak bicara sampai-sampai Pra pusing harus menjawab yang mana terlebih dahulu. 

"Pra, kenapa disetiap pintu selalu ditempelkan kertas putih?"

"Itu sebuah penanda yang sengaja ditempelkan oleh ayah ku."

"Anehh, kamu tau artinya apa?"

"Tidak tau Jade. Kamu disini masih ingin bertanya atau ikut aku ke halaman belakang?"

"Sebenarnya masih ingin bertanya.. tapi ayolah aku sudah tidak tahan dengan lantai kayu yang reot ini, lain kali kamu harus ganti dengan yang lebih modern Pra."

Pra kali ini sudah emosi, dirinya tau kalau rumah nya ini memang kuno tetapi baginya kuno itu bukan sesuatu yang harus diganti dengan yang baru. Kalau saja Jade tahu bagaimana perjuangan keluarga nya demi mendapatkan rumah ini, mungkin sekarang Pra tidak akan segan untuk membeli mulut Jade yang tidak ada istirahat nya itu.

Yah, memang sebagian orang berhak untuk beropini namun tidak ada salahnya juga kan jika Pra tidak harus selalu menjawab opini-opini seseorang itu, contohnya opini milik Jade.

"Pra, jika kamu menjual rumah mu ini kira-kira berapa nominal yang kamu ajukan?"

Kini Jade bertanya dengan kedua tangan yang ia taruh diatas meja, seperti seseorang yang sedang berdiskusi tentang bisnis.

"Tidak ada nominal." Ucap Pra, singkat

"Tidak ada.. maksudnya gratis?"

"Maksudnya tidak akan dijual."

Mereka berdua mulai menyesap secangkir teh, disamping Jade yang tiba-tiba menjadi diam. Pra kini jadi berfikir sesuatu tentang bagaimana dirinya jika tidak lahir dari salah satu penghuni rumah ini, mungkin dia akan menjadi seorang yang tinggal dengan rumah gading putih seperti tempat tinggal Jade, atau malah hanya tinggal ditempat yang seadanya dengan genteng yang tidak tertutup sempurna sehingga ketika hujan bisa saja bocor. Untuk itu Pra kelewat bersyukur sekali atas apa yang dirinya punya. 

"Sesungguhnya Pra, aku ingin menjadi seperti mu,"

Pra ditempatnya mengerutkan dahi.

"Kenapa?"

"Aku ingin mempunyai sesuatu yang bernilai banyak, seperti buku, rumah, juga dirimu."

"Kamu bisa menjadi dirimu sendiri Jad,"

"Ya aku tahu, cuma... Kau tau kan bagaimana luas dan sepinya rumah ku?"

"..."

Mungkin ini yang disebut sisi lain seorang Jade, yang sebagian orang lihat bahkan bisa saja membuat iri kawan disekitarnya karena sifatnya yang mudah bergaul bahkan terkenal dengan sosial butterfly nya. Namun tidak ada yang tau jika Jade sebenarnya hanya berusaha menjadi ramai disaat hatinya sangat sepi.

"Yasudah, kalau begitu kita bikin rumah saja. Untuk kita berdua."

"Katanya kamu tidak suka dengan sesama jenis,"

"Justru karena kita sesama jenis, jadi lebih gampang jika ingin tinggal bersama. Kita kan kawan Jade!. Tidak ada yang salah kan."

"Oke, tapi untuk lantai aku ingin pakai keramik bukan kayu seperti rumah mu ini ya Pra."

"Iya-iya, tapi buku ku boleh dibawa kan?"

"Boleh!"

Keduanya kini saling berkawan erat, entah bagaimana jadinya mereka menjadi dua sejoli yang seakan-akan mengenal sangat lama padahal ini pertama kalinya mereka bersua panjang lebar tanpa adanya penghakiman. Atau mungkin ini yang namanya jodoh dalam pertemanan.


- RAMPUNG.









Komentar