Sinarnya Hari itu Mentari.

Ada yang bersembunyi kala rintik mulai turun ke bumi, berdiri pada sepatu usangnya yang sudah berkali-kali diperbaiki. kalau ditanya kenapa gak beli yang baru? Hari selalu jawab, "Ini hadiah dari Mentari, hadiah paling sederhana tapi selalu bikin saya jatuh hati."

"Aku bisa beliin kamu sepuluh biji yang kaya gini Har," ucap gadis disampingnya.

Hari tertawa, "Gak semua bisa dinilai pakai uang, kadang kita cuma perlu menghargai apa-apa yang sudah ada, termasuk niat ketulusannya."

Hujan nya semakin deras, niatnya Hari mau langsung pulang, tapi tiba-tiba teman nya ini malah minta nebeng karena katanya sejalan.

"Bawa jas hujan?" tanya Hari.

"lupaa,"

"Kalau gitu pakai ini aja, tapi jangan sampai rusak. itu punya Mentarinya saya."

"Ya."

Kalau bukan karena tugas akhir yang mendadak Hari gak akan terjebak hujan bareng kawan perempuan nya ini, maaf bukannya tidak ingin berbagi jok belakang tapi selain Bunda dan Mentari, Hari tidak sampai hati untuk berbagi.

"Har, aku dingin. boleh peluk ga?"

"Pegangan aja sama ransel saya, sekalian tolong pegangin takut-takut tali ranselnya putus."

Gadis itu cemberut dibalik helm nya, kini tangan nya mulai usil menarik-narik kaitan dijas hujan yang ia pakai. Disepanjang jalan mereka tidak banyak bersua begitu saja sampai lebih dulu tiba dirumah si gadis, hujannya masih turun tapi tak sederas yang lalu.

"Kamu gak mau mampir?"

"Tidak usah, terimakasih. Saya mau langsung saja."

Mendengar penolakan dari Hari gadis itu masih berdiri ditempatnya, keningnya berkerut memikirkan sesuatu.

"Har, boleh temenin sebentar gak? aku takut klo tiba-tiba ada petir,"



**

"Mentari, tadi ada yang deketin aku." ucap Hari mengadu,

"Siapa?"

"Teman satu jurusan."

"Pasti cantik ya?" 

"Cantikan Mentari dongg."

"Suara nya pasti indah,"

Hari tersenyum sedikit.

"Tapi Hari lebih suka ngobrolnya sama kamu."

"Yakin? Mentari kan 'tidak bisa bicara."

Bagi Hari kekurangan itu bukan sesuatu yang harus disembunyikan dan Mentari adalah karya Tuhan yang patut untuk dibanggakan. Dia begitu manis dengan balutan dress yang melekat pada tubuhnya, tidak lupa ia akan selalu memakai jam tangan pemberian Hari yang ia belikan dua tahun yang lalu.

"Jam tangan nya sudah usang kok masih dipakai?"

"Iyanih, jarumnya sudah tidak lagi berputar."

"Nanti aku beliin yang baru ya? atau mau sekalian ku belikan bu-"

Mentari tiba-tiba menyilangkan tanganya.

"Aku ingin sesuatu tapi sekarang boleh?"

Lantas Hari lagi-lagi tersenyum, lalu mengangguk.

"Boleh!"

Mentari mendekatkan tubuhnya kesamping Hari. tangannya bergerak memberi isyarat, lalu kemudian tersenyum malu sendiri. ah bahkan sekarang pipinya sudah berubah merah muda.

"Tapi Hari gak janji kalau cuma sebentar, soalnya Hari akan ngelakuin ini lama." 

"Kalau begitu tidak jadi!" 

Mendengar itu Mentari jadi berubah pikiran.

"Kenapa, ayoo! Hari juga mau."

"Tapi jangan lama ya? sebentar saja,"

"Siap sayangku."

Lalu dibawah nabastala yang membiru ini kali pertamanya Hari menjamah lembut bibir Mentari, bibir yang tak pernah ia dengar seperti apa suaranya, bibir yang selalu ingin ia lihat saat keduanya melengkung indah. Manis, batinnya.

Tangan Mentari pun mengalung sempurna diantara lebarnya bahu, juga sedikit elusan yang ia utarakan pada punggung tangguh milih Hari. Ciuman itu dikuasi oleh Hari, seperti katanya ia tidak janji kalau ini berlangsung hanya sebentar.

Digendongnya Mentari kedalam pelukan, tak lupa ia selipkan rangkulan pada lekuk pinggang sang puan. ini gila pikirnya, tapi Hari tidak bisa berhenti, rasanya Mentari begitu pas dengan dirinya jika dalam hal seperti ini.

Lagi, Hari menekan lembut bibir Mentari, mengikis oksigen yang berusaha masuk seakan-akan atensi didepan nya ini hanya miliknya. memperdalam ciumannya, Hari sangat hati-hati takut jika Mentari jadi tidak hati, lalu ia sudahi dengan kecupan kecil. diusapnya bibir mungil Mentari, sambil tersenyum dalam hati bilang "Mentari kamu buat aku jatuh hati berkali-kali." 



— RAMPUNG.

Komentar