BAHTERA TUA, PRA SEBAGAI NAHKODA NYA.
Selamat datang bagi penumpang spesial, saya ajukan beberapa wejangan. Namun ini bukan daratan yang kau impikan, melainkan Harsa ditengah lautan. Selamat membaca, jangan lupa senyum bahagia.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ__
Saya menatap lekat potret kita kala itu, pada bingkai yang kau beli ditoko sebrang jalan, tentu saja masih dengan saya yang senantiasa menggenggam erat tangan mu karena takut kamu ditaksir ibu-ibu. "Kenapa ibu-ibu?" Katamu, kala kita sampai diujung jalan, "Ya biar kamu gak dijadiin menantu nya lah." Saya jujur soal ini, rasanya saya takut sekali perihal kehilangan, apalagi afeksi terindah seperti dayita ku yang satu ini.
Saat sedang fokusnya mengenang masa itu, saya tersadar akan suatu panggilan, panggilan asma ku yang dulu sering kamu sebut saat kita masih amat sangat manis. Iya manis, walaupun sekarang sepertinya sudah tidak ada rasa lagi. "Garaaa!" seperti itu, saya begitu ingat bagaimana caramu menyapa, dengan senyum indah penuh rupa berharsa. Lalu saat saya menoleh, saya jadi makin tersadar kalau itu hanya ilusi belaka, ah atau mungkin karena kita yang sekarang menjadi asing? atau saya terlalu merindu? Mau bagaimana pun ini sudah lama berlalu.
Satu lagi, saya suka sekali tempat bersejarah tetapi semenjak hari itu, tempat paling bersejarah adalah tempat terakhir saat saya bersama Scarletta pernah duduk berdua. Bahkan kursi panjang itu masih terlihat sama sampai sekarang.
__
Mencari kesibukan alih-alih memanipulasi pikiran, saat inilah yang hanya bisa Scarletta lakukan. Nyatanya perihal apapun yang dirinya lakukan akan ada kepingan ingatan kecil yang hadir pada suatu hal yang dulu pernah dirinya lakukan bersama Gara. "Apa aku harus mampir sebentar?" Scarletta bermonolog. Rasanya ia butuh sesuatu yang hangat untuk menenangkan pikirannya.
"Selamat sore mau pesan apa?"
Scarletta diam ditempatnya, lagi-lagi dirinya masuk pada ingatan kecil masa lalu. Yang benar katanya jika perpisahan dilakukan dengan baik akan memberikan rindu yang membekas apik. Scarletta bohong jika dirinya lupa akan kebiasaan ini, "Vanilla Latte satu kak." Akhirnya hanya itu yang selalu dirinya pesan saat berkunjung kesini, tentang dirinya yang tidak begitu suka macam-macam kopi tetapi karena Prakarsa Gara suka ia jadi ikut terbiasa.
Daripada duduk disamping jendala, Scarletta lebih memilih duduk didepan para barista yang sedang sibuk meracik kopi, aromanya yang khas membuat Scarletta hanyut. Dalam pikirannya, ia selalu membayangkan sosok Pra berada disampingnya, ikut menyeruput kopi yang pahitnya tiada tara. tapi, jika dibandingkan sekarang rasanya lebih pahit jika minum kopi tanpa sosok Pra, vanilla latte tanpa susu itu mustahil kan.
"Tumben vanilla latte mu tidak ada es nya,"
Demi langit sore ini, rasanya jantung Scarletta turun kelambung. Scarletta menoleh kesumber suara, menatap afeksi penghuni bumi yang sudah lama tak ia jumpai, rupa yang ia rindukan kini terlihat jelas didepan kedua netranya. Scarletta diam seribu bahasa.
"Apa kabar?"
Scarletta jadi membisu, dari banyaknya harap ia tidak pernah menyangka akan bertemu Pra ditempat ini.
"Garaa?"
"Iya ini saya, ternyata firasat saya benar kalau yang pesan vanilla latte itu kamu."
"Kamu... Sejak kapan jadi pembuat kopi?"
"Sejak saya rindu kamu."
Sekarang Gara dan Scarletta jadi paham perihal temu menurut waktu. Yaitu saat mereka sudah mampu memulai suatu yang baru. Saat kita benar-benar ingin menghapus rindu.
— RAMPUNG.
Untuk Scarletta,
Dari Prakarsa Gara.
Komentar
Posting Komentar