Atma teguh pada mereka yang beranjak tumbuh.


Sedikit gelak tawa daripada banyaknya air mata, menghela nafas setiap sesek didada pada tutur kata yang tak sesuai asa. Kalau rumah adalah sumber kehangatan jiwa raga, lalu bagaimana bila ruang keluarga hanya terisi suara mengelegar yang mengudara.

Banyak yang rusak termasuk mental dan raga ini, dipaksa tak mengisak tangis dan berpura-pura tertawa manis. Anantara harsa ku begitu arsa rupanya, daksa ku kadang tak berdaya kala ayah ibu berteriak didepan muka. Apakah ini yang namanya rumah? Apakah ini yang namanya tempat ternyaman? Saya binggung, ingin pulang namun sudah dirumah.

Ibu bilang ia ingin anaknya bahagia, ia turuti apapun yang saya minta. Tapi satu, ketika saya meminta dekap saat sembab ibu selalu bilang bahwa 'saya sudah dewasa, harus terbiasa memeluk luka. Begitupun ayah, dia sangat superhero sampai-sampai ringan tangan tanpa angan. Katanya juga 'ini adalah sebuah pelajaran jika tidak mau mengikuti aturan. Ah yasudah lah.

Jika boleh memilih, saya lebih baik miskin harta namun kaya akan kehangatan keluarga. Melihat bagaimana senang nya kawan diperhatikan ayah ibu, bahkan diberi semangat kala sendu tanpa membeda-bedakan dengan anak yang prestasinya lebih maju. Saya iri, namun tahu diri.

Berakhir ingin mengakhiri diri, memang suatu tindakan tidak terpuji namun saya sudah capek sendiri. Berdikari tanpa ada yang menemani, katanya hidup didunia ini memang bikin ketawa geli. Sehabis nangis, harus semangat lagi. Begitu terus sampai rasanya ingin pupus. Ya Tuhan apa lebih baik jika saya tak dilahirkan?

Komentar